Kamis, 21 September 2017

Jogja, Aku Jatuh Cinta Lagi (Part 3)

by annisaendrasiswanti.blogspot.com

Setelah selesai makan dan bercerita ria, Kiky membawaku ke Wediombo, pantai berpasir putih di Gunung Kidul. Ini pertama kalinya aku menjamah tempat ini.

Deburan ombak, semilir angin pantai, serta warna langit dan laut yang saling beradu biru menyihir mataku untuk bersemangat menatapnya.

      “Jogja bagus ya” Ucapku

      “Baru tau?”

      “Iya”

      “Makanya kalau kesini jangan cuma metik salak”

      “Hehehe” Aku tertawa kecil

      “Kenapa kamu pilih kuliah di Jogja?” Tanyaku sambil tak henti menatap hamparan luasnya laut seraya duduk di sebuah dahan pohon landai di pinggir pantai.

      “Nggak tahu, tiba-tiba pengen Jogja, mungkin takdir”

      “Takdir?” Aku masih bingung dengan jawabannya.

      Sesaat dia terdiam dan tidak menjawabnya. “Awalnya aku pengen lupain kamu disini”

      “Terus berhasil?”

      “Belum” Sambil menggelengkan kepala “Susah” Jawabnya singkat.

      Suasana hening kemudian.

      Kulihat matahari perlahan pulang keperaduannya, tergelincir kearah barat dan melukis langit dengan kilau warna keemasan, sungguh indahnya Wediombo kala itu.

      “Pulang yuk, sudah mau gelap, aku janji sama Bapa pulangnya nggak kemaleman” Ajaknya. Sebenarnya masih banyak yang ingin aku tanyakan padanya tapi seolah dia tidak ingin aku tahu itu dan sejujurnya saat ini aku merasa sedang tak ingin dilupakan.

      Dia mulai berdiri meraih tanganku tapi aku masih saja duduk seolah tak ingin meninggalkan tempat itu.

      “Ky...”

      “Iya” Dia menoleh kearahku

      “Aku suka Jogja, aku juga suka kamu” Tiba-tiba bibirku berucap demikian karena tak sanggup menutupi riuh didalam dada, yang masih ingin bersamanya.

      Satu hari penuh bersama membuatku lupa bahwa ternyata saat ini aku bahagia menghabiskan waktu dengan orang yang pernah ku cintai dulu.

      Kini rasa nyaman yang sempat terlupakan seolah kembali hadir, membuatku ingin terus didekatnya, ku toleh rasa rindu pun tidak menemui titik habisnya dan tak pernah bosan ku dengarkan setiap rangkaian kisah-kisahnya. Dia berbeda, lebih dewasa dan bijaksana dan itu membuatku kembali jatuh cinta.

      Semudah itu? Iya. Karena cukup satu hari dia mampu menggoda hati dan pikiranku. Cukup satu hari untuk kembali menyukainya, kembali merasa nyaman bersamanya.

      Wajahnya yang masih terlihat datar menatapku dan perlahan terlihat lengkungan senyum “Aku juga suka, tapi aku lebih suka kamu , dari dulu sampai sekarang”

      Aku senang ternyata itu berlaku pula dengannya, mungkin baginya perlu beberapa waktu dan usaha untuk bisa mencoba membuang kenangan masa lalu, tapi cukup satu hari kenangan itu kembali dan itu disini, di Jogjakarta.


      Kota ini tidak lagi sama, bagiku sekarang dia istimewa seperti namanya. Karena disini aku memulai sebuah titik cerita cinta bersama kamu, masa depanku. 

Jumat, 04 Agustus 2017

Jogja Aku Jatuh CInta Lagi (Part 2)

 
By Annisa Endrasiswanti
Orang itu muncul dengan sepeda motor klasiknya yang sejak tadi berhasil membuatku gelisah, tapi justru kehadirannya malah membuat jantungku tiba-tiba berdebar lebih cepat "Mungkin ini rasanya ketemu mantan pacar" Gumamku.

"Hai..!" Aku menyapanya.

"Hai! Lama ya? Nyasar dulu soalnya" Dia balik menyapa sambil menjelaskan apa yang terjadi padanya.

"Oh gitu, yaudah masuk dulu" Aku mengajaknya ke ruang tamu diikuti langkahnya di belakangku.

"Assalamualaikum, Pa" Ucapnya ketika melihat Bapa yang asyik menonton TV.

"Wa'alaikumsalam. Eh Kiky sudah sampai, gimana kabarnya?" 

"Alhamdulillah baik, Pa" Dia menjawab masih saja dengan gaya bahasa tubuhnya yang sopan.

"Ayo duduk sini, oya betah nggak kuliah di Jogja?" Bapa mulai membuka percakapan. Kutinggalkan mereka sebentar sambil mengambilkan air minum untuknya.

"Yaudah ajak Nisa keliling Jogja gih biar kerjaannya nggak cuma metikin salak" Ucap Bapa saat aku kembali dari dapur. "Nis, siap-siap sana" 

"Kemana?" Tanyaku bingung pada Bapa.

"Katanya mau keluar? Atau mau disini saja metik salak berdua?" Canda Bapa.

"Eh iya, bentar ya Ky. Aku siap-siap dulu"

Setelah berpamitan dengan Bapa dan keluarga yang lain, kami bergegas untuk pergi. "Emang kamu mau kemana sih? Candi? Pantai? Gua? Museum? atau mau ke angkringan? Tanya Kiky sambil menyebutkan satu persatu pilihannya.

"Kemana aja yang penting menarik"

"Oke kalau gitu kita berangkat"

Di sepanjang perjalanan kami hanya diam, kulihat dia fokus mengendarai motornya dengan cepat, sesekali aku melihat diriku di kaca spion sambil merapikan poni yang keluar dari balik helm. Sebenarnya aku juga bingung harus membicangkan apa. "Tanya kabar sudah atau tanya sudah punya pacar? Ah nanti dianggap ngarep balikan" Aku hanya bergumam dalam hati disepanjang perjalanan sampai kami tiba ditempat tujuan.

"Kita ke Malioboro?" Tanya ku heran saat kami berhenti dan memarkir motor di Malioboro.

"Iya"

"Ngapain?"

"Katanya kemana aja"

"Iya sih, memang ada yang mau kamu beli disini?"

"Ada. Tapi kamu yang beli" Ucapnya sambil melepas helm dan menungguku turun dari motor.

"Aku?"

"Iya, nih aku kasih tiga puluh ribu buat kamu belanja"

"Belanja apa?"

"Mmm.. Apa ya enaknya?"

"Es Teh?"

Dia menggelengkan kepala, lalu kulihat matanya celingukan memandangi beberapa pedagang yang berada disana, seperti sedang mencari sesuatu. "Aku mau kasih challenge, kamu harus belanja outfit pakai uang yang aku kasih

"Tiga puluh ribu emangnya cukup?"

Dia menjawabku dengan hanya senyum. "Yuk masuk". Ajaknya sambil menarik tanganku untuk mengikuti langkahnya.

Aku celingukan memilih barang yang akan aku beli dengan uang tiga puluh ribu ini. "Kamu serius aku harus belanja pakai uang segini?"

"Iya, katanya jago nawar" Dia kembali tersenyum sambil tetap menggandeng tanganku.

Kami menyusuri setiap sudut Malioboro mencari sesuatu yang menarik dengan harga yang irit.

"Bentar deh" Aku menarik tangannya untuk berhenti disebuah kios yang menjual batik. "Ini lucu" Kataku sambil memegang sebuah t-shirt bermotif batik yang dijajakan disana. "Iki pinten, mas?" Aku mulai bertanya pada si pedagang dengan bahasa jawa yang pas-pasan, niat hati agar bisa dapat harga lebih murah.

"Selawe, mba" Jawab si pedagang"

"Selawe berapa Ky?" Aku setengah berbisik pada Kiky dan itu malah membuatnya tertawa. 

"Kan kamu yang orang jawa, koq nanya aku?"

"Ah kamu nggak ngebantu" Gerutuku. "Selawe berapa, mas?" Dengan wajah bingung akhirnya aku bertanya pada pedagangnya.

"Dua puluh lima ribu,mba"

"Lima belas ribu deh" Aku coba mulai bernegoisasi harga.

"Belum bisa,mba"

"Harga pas nya berapa?"

"Paling bisa kurang jadi dua puluh ribu itu sudah harga pas ya,mba"

"Lima belas ribu aja,mas" Aku masih berusaha menawar.

"Nggak bisa,mba"

Aku melirik kiky yang sejak tadi masih senyum-senyum. 

"Kalau baju yang lima belas ribu ada nggak?"

"Oh ada" Si pedagang mulai mengambil  beberapa pakaian yang kumaksud.

"Kalau itu celananya berapa?" Kutunjuk sebuah celana yang menggantung dipojok kanan.

"Ini murah, mba harganya cuma dua puluh ribu"

"Aku ambil baju ini sama celana itu harganya selawe ya" Kataku

"Belum bisa,mba"

"Terus berapa bisanya?"

"Gini saja, saya kasih tiga puluh ribu harga pas ya"

"Yaah abis dong uangnya" Gerutuku. "Gimana Ky? Aku menang atau kalau kalau begini?" Kataku pada Kiky.

"Mmm.. gimana ya?" Dia pura-pura sedang berpikir. "Yaudah belanjaannya dibayar dulu tuh" Lanjutnya kemudian.

"Jadi ini menang atau kalah?" Aku mengulangi pertanyaanku lagi

"Mau nya apa?"

"Menang"

"Yaudah kamu menang"

"Udah gitu doang?"

"Ada hadiahnya koq"

"Apa?"

"Mmm.. Sesuatu yang indah"

"Apa?" Ku ulang lagi pertanyaanku
 
"Sekarang kita makan yuk" Ajaknya sambil berjalan mencari tempat makan, nampaknya dia tidak ingin memberitahu dulu. Tak lama kemudian kami berhenti disebuah warung burjo, dan langsung memesan makanannya.

"Kamu suka makan disini?" Aku mencoba memulai percakapan.

"Suka. Tapi kadang-kadang sih"

"Kenapa? karena rasanya enak?"

"Karena murah, hehehe"

Aku tertawa mendapati jawabannya. "Enak nggak jadi anak kost?" Aku bertanya kembali sambil menyantap bubur kacang hijau yang sudah tersaji dihadapanku.
 
"Mmm... gimana ya ngejelasinnya" lagi-lagi dia berpura-pura sedang mikir keras. "Ada enak, ada juga nggaknya. Salah satu yang bikin nggak enaknya itu pas lagi belum dapat kiriman, coba bayangin deh aku pernah punya uang cuma sepuluh ribu, terus karena lapar akhirnya uangnya aku pakai buat beli nasi padang tapi belinya dibungkus biar agak banyak". Dia berhenti bercerita sesaat untuk meneguk minumnya.

"Terus?" Aku tidak sabar menunggu ceritanya lagi.
"Aku langsung buru-buru pulang pengen cepat makan eh pas sampai kost aku udah nggak liat bungkus nasinya yang aku cantel di motor"

"Loh emangnya kemana?"

"Jatoh"

"Kasian" Aku menahan tawa membayangkan perasaannya saat itu sambil memasang wajah yang kubuat memelas.

"Iya kasian banget ya, tapi ada yang lebih kasian lagi daripada ini"

"Apa tuh?" Aku penasaran

"Jadi jomblo"

"Kamu jomblo?"

"Emang kamu punya pacar?"

"Nggak juga sih, tapi yang deketin masih banyak, hehehe" Canda ku

"Berarti kamu jomblo unggul"

Aku tertawa geli tapi tidak menanggapi guyonannya. Kami mulai asyik bercerita dari hal-hal unik sampai yang nggak penting hingga tak terasa hari mulai terik.
 
Setelah selesai makan dan bercerita ria kiky menepati janjinya untuk memberiku hadiah. Sebuah hadiah yang mungkin akan membuatku rindu dengan Jogja.



Bersambung...

Selasa, 13 Juni 2017

Jogja, Aku Jatuh Cinta Lagi (Part 1)

by Annisa Endrasiswanti
Yogyakarta..
Untuk kesekian kalinya aku menapaki kaki di kota ini dan aku merasa sejauh ini belum ada yang berbeda, masih sama.

Januari 2011
Tahun baru telah usai namun masih menyisakan libur tahunan yang cukup panjang. Jenuh rasanya jika ku habiskan dengan hanya berpolusi ria di tempat tinggal ku saat ini "si Kota Industri". Maka dari itu akhirnya aku memutuskan untuk ikut Bapa yang kebetulan punya acara arisan keluarga di rumah om Amin, di Jogja. Setidaknya di sana aku bisa menghirup udara yang berbeda. 
Seperti pada umumnya, arisan keluarga adalah ajang berkumpul nya semua anggota keluarga yang terlibat dalam transaksi ini, dan keluarga ku termasuk golongan orang-orang heboh jika sedang kumpul begini, selalu ada saja bahan cerita dan sudah tentu pasti mereka semua menggunakan bahasa jawa nan medok. Malang lah nasibku yang tidak bisa berbahasa jawa, yang cuma bisa mesem-mesem dengan wajah bingung, padahal jika ditanya aku ini cinta Indonesia loh tapi bahasa turunan Bapa saja cuma bisa bilang "moooooh". 

Jogja pagi hari di rumah om Amin
Rumahnya yang berada di kaki gunung merapi membuat dingin selalu menyapa disini, lirikan selimut menggodaku hingga surya terbit berada tepat dipuncaknya. Aktifitasku hanya tidur, makan, dan sesekali memetik salak yang pohonnya berjejer rapi disekitar rumah. Jika  malam tiba, rasanya air pun mengajakku bermusuhan karena dinginnya yang menusuk tulang.
Pagi itu saat semuanya berkumpul untuk sarapan, mereka mulai dengan kehebohan berguyon dan lagi-lagi aku yang paling kalem diantara yang lainnya.

"Kiky kuliah disini kan, Nis!" Tiba-tiba Bapa mengingatkan ku pada seseorang yang bernama Kiky, dia mantan pacarku di SMA, hampir satu tahun ini aku tidak pernah bertemu dengannya, bertukar kabar pun tidak.

"Iya, memangnya kenapa pa?"

"Suruh main kesini, biar kamu ada teman" 

Sejenak pikiranku melayang pada dirinya, "Benar juga kata Bapa, setidaknya aku bisa punya teman buat keluar rumah. Tapi memangnya dia mau ketemu aku? Ah coba saja dulu mungkin dia mau, masa lalu ya masa lalu, yang sudah terjadi biarlah berlalu, aku punya hidup baru dan mungkin dia juga begitu". Aku berkomentar dalam hati.

Ku cari nomor handphone nya di kontakku, sambil berharap nomornya masih aktif.
Tut.. Tut..Tut.. kudengar suaranya mulai tersambung.

"Halo" Seseorang menyapa disana.

"Halo, ini kiky ya?!"

"Iya. Ada apa Nis?" Suara yang tidak asing menjawabnya dan ternyata dia masih menyimpan kontak ku. 

"Mmm.. Kamu apa kabar?"

"Baik, kamu apa kabarnya?"

"Baik juga, sekarang aku lagi di jogja sama Bapa"

"Oh gitu, sampai kapan?"

"Sampai hari ini, rencananya besok pulang"

"Memang Jogjanya dimana?" 

"Turgo" 

"Mmm.. Lumayan"

"Apanya yang lumayan?"

"Lumayan jauh"

"Oh gitu, mau ketemu?" Tiba-tiba saja mulutku berucap demikian, mengikuti suara hati yang sudah ribut penasaran dengan dia yang sudah lama tak kulihat sosoknya.

     "Boleh, kirimin alamatnya ya, nanti aku kesana"

     "Oke"

     Dua jam berlalu, ku tengok halaman rumah belum juga yang ku tunggu muncul. "Mungkin dia masih dijalan, atau mungkin memang nggak mau ketemu?" Aku mulai gelisah, mungkin karena aku mulai berharap.


Bersambung..

Melangkah di Munara

Gunung Munara, sebuah gunung yang terletak di kampung sawah kec. Rumpin kab. Bogor, saat ini namanya sudah tidak asing didengar oleh orang banyak. Gunung ini memiliki tinggi 1119 Mdpl, tingginya cukup untuk memenuhi hasrat penasaran saya sebagai pendaki awam untuk  mendaki gunung pertama kalinya.
Hari ini saya ditemani dengan dua orang teman saya, kebetulan keduanya adalah kaum hawa, jadilah kita para wanita pendaki. Hehehe..   
 
Perjalanan kami dimulai dari Parung sebagai titik temu menuju Rumpin. Hanya berbekal mulut untuk bisa sampai ketujuan, karena di kawasan parung ini sudah banyak yang telah mengetahui arah menuju gunung tersebut.  Jika dari arah Tangerang dan sekitarnya, bisa mengambil jalur kearah serpong menuju Cisauk setelah itu kearah pasar Cicangkal dari pasar tersebut hanya tinggal mengikuti arah jalan menuju Rumpin. Jalanan menuju gunung tersebut kondisinya rusak karena  selalu dilewati oleh mobil truk pengangkut batu dan pasir, so.. mesti hati-hati ya, karena ketika kemarau jalanan ini sangat berdebu dan licin ketika hujan.
 
Sesampainya di Gunung Munara, kami mengurus administrasi di pos pertama. Tarif biaya masuk Rp. 5.000 dan biaya parkir motor Rp. 5.000/Kendaraan sedangkan mobil dikenakan tarif Rp. 10.000/Kendaraan.
Waktu menunjukan pukul 08.00 WIB kami bergegas untuk mulai mendaki. Sebenarnya disini tidak perlu membawa perbekalan terlalu banyak, karena terdapat banyak warung yang menyediakan berbagai makanan dan minuman. Perlu dicatat, “gunung ini panas” jadi tidak perlu memakai baju tebal karena pastinya akan membuatmu mandi keringat.



Selama perjalanan menuju puncak saya merasa lemas dengan tubuh gemetar dan rasa mual diperut, sepertinya saya terkena mountain sickness mengingat dari gejala yang saya alami tersebut. Tapi hal itu dapat diatasi dengan beristirahat sebentar sambil meneguk teh hangat. Salah seorang pedagang di sini pun menawari saya gula merah sebagai “obat kuat menuju puncak” tuturnya.



Saat mendaki puncaknya, tetap perhatikan langkah dan gunakan sepatu atau minimal sendal yang masuk dalam standar safety karena jalan bebatuan yang terjal.
 



Pemandangan yang tersuguh dari atas puncak, mampu menyihir kedua mata untuk tetap menatapnya serta rasa lelah perlahan mulai hilang tergantikan dengan suatu kepuasan.






Saya Annisa serta teman saya Diantama dan Vioni telah mengukir cerita bersama digunung ini.





“Dengan berjalan, aku melihat luasnya dunia..
dengan berjalan, aku mengenal banyak orang..
dengan berjalan, aku menemukan hal baru..
dengan berjalan, aku menggapai mimpi..
dengan berjalan, aku dapat berbagi cerita..”
Annisa Endrasiswanti
 

a matter of a taste Template by Ipietoon Cute Blog Design